Kamis, 06 Oktober 2011






Perlukah pendidikan seks bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)? Bagaimana cara menjelaskannya?

Apakah benar masa puber yang terjadi pada ABK terkadang datang lebih awal dari anak pada umumnya?

    SEKS adalah kebutuhan alami semua manusia. Masa puber harus dilewati oleh setiap anak termasuk anak-anak kita yang memiliki gangguan perkembangan, sensorik, motorik, persepsi, konsentrasi dan kecerdasan. Mereka juga akan melewati masa puber! Masalahnya tidaklah mudah untuk menjelaskan perihal seks kepada mereka, apalagi ketika mereka mulai bertanya tentang organ tubuh dan tertarik dengan teman lawan jenis, bagaimana? Hal yang tabukah?

    Itulah sekelumit pengantar dalam seminar yang kami berempat (Sr. Vera, Pak Moko, Ibu Sari, dan Ibu Ratri) ikuti pada hari Sabtu, 7 Agustus 2010, bertempat di Apartement Mediterania Garden Residences, Tanjung Duren.
Sesuatu hal yang menarik dan penting sehingga perlu kami bagikan kepada orangtua maupun pendidik ABK dengan harapan dapat membuka pandangan yang benar dan positif  mengenai pendidikan seks.

    Berdasarkan fakta (USA REPORT, The American Academy of Pediatrics & The Development of Justice) yang mengungkapkan bahwa telah terjadi pelecehan seksual terhadap ABK 2 kali lebih tinggi daripada yang terjadi pada anak bukan berkebutuhan khusus.

    Setiap anak berhak untuk mengetahui tahap-tahap perkembangannya sendiri (Liz Sweeney 2007). Contoh paling sederhana adalah anak yang kurang mandiri, segala sesuatu selalu dilayani dan itu akan menimbulkan kesulitan bagi orangtua itu sendiri manakala si anak menginjak usia 17 tahun dimana kebutuhan biologisnya terus berkembang sementara hal tersebut tak terpikirkan oleh orangtua bagaimana mempersiapkan anak untuk menghadapi kondisi itu.
    Tanggapan orangtua maupun masyarakat pada umumnya cenderung negatif. Pandangan mereka, seks adalah hal yang tabu untuk dibicarakan.
Anak/remaja berkebutuhan khusus ini mempunyai hak belajar yang sama dan keterbatasan serta hambatan belajar tentang seks.
    Fakta yang terjadi adalah pendidikan sekarang ini lebih menonjolkan pada ranah kognitif (calistung) sehingga pendidikan seks tidak dapat diberikan secara maksimal.

Mengapa kita miskin pengetahuan seks?
1.    Pandangan umum bahwa seks adalah tabu, sebenarnya sex adalah sama ketika kita bicara tentang makanan atau pakaian,dll. Hal itu menghambat penerimaan informasi yang benar mengenai pendidikan seks.
2.    Budaya masyarakat cenderung menyalahgunakan “sex”. Sekarang ini banyak pemberitaan yang negatif tentang sex. Banyak terjadi pelecehan seksual, yang sedang marak terjadi adalah pelecehan seksual dalam sarana tranportasi Trans Jakarta. Jadi pemahaman masyarakat tentang seks, seks sama dengan pelecehan seksual atau pemerkosaan.
3.    Pemahaman belum benar dan perlakuan belum tepat pada ABK.
4.    Tidak dipentingkan dalam kurikulum sekolah.
5.    Kurang diperhatikan sebagai tanggung jawab keluarga dan masyarakat.
6.    Mementingkan pada pengobatan dan terapi.
7.    Mengutamakan pembelajaran pada akademik dasar.
8.    Pendidik (guru, orangtua) sulit mengajarkan tentang seks.

Mengapa pendidikan seks sulit?
1.   Anak/remaja berkebutuhan khusus, jenis dan variasinya luas.
2.   Membutuhkan kemudahan/aksesibilitas belajar yang berbeda-beda.
3.    Terbentur pada pandangan dan budaya negatif tentang seks dan disabilitas.

Pendidikan seks pada anak/remaja adalah sebuah keharusan, karena :
1.    Seks ada di dalam proses perkembangan.
2.    Seks merupakan perspektif hak asasi manusia.
3.    Seks adalah universal.

Pendidikan Seks, apakah itu?
1.   Upaya pengajaran, penyadaran, dan pemberian informasi mengenai organ reproduksi.
2.   Upaya penanaman moral, etika, komitmen agar tidak terjadi “penyalahgunaan”.
3.   Upaya pengembangan keterampilan mengekpresikan perasaan dan kebutuhan seks.

Pendidikan Seks meliputi beberapa hal, antara lain :
1.    Organ tubuh dan organ reproduksi
2.    Jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
3.    Gender dan peran sosial.
4.    Ciri-ciri kematangan pertumbuhan fisik.
5.    Pandangan dan sikap terhadap perubahan tubuh secara fisik.
6.    Keterampilan berekspresi, beraspirasi, dan berelasi.

Ruang Lingkup, Tujuan dan Materi Pendidikan Seks.
 
I.    Usia Balita
1.   Memperkenalkan organ seks yang dimiliki. Dalam menjelaskan sebaiknya menggunakan istilah yang menimbulkan pemahaman ganda. Misal, istilah burung untuk penis.
2.   Menjelaskan fungsi anggota tubuh.
3.   Menjelaskan fungsi serta cara melindungi dan menghargai tubuh.

II.    Usia Anak
1.    Memahami perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)
2.    Menghargai perbedaan jenis kelamin.
3.    Menginformasikan asal-usul manusia.
4.    Membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman penyakit.
5.    Usia Menjelang Remaja
     5.1.    Menerangkan masa pubertas dan  karakteristiknya.
     5.2.    Menerima perubahan dari bentuk tubuhnya.

III.    Usia Remaja
1.    Memberi penjelasan mengenai perilaku seks yang merugikan (seperti seks bebas).
2.    Menanamkan moral dan prinsip ‘say no’ untuk seks pra nikah.
3.    Membangun penerimaan terhadap diri sendiri.

IV.    Usia Pra Nikah
1.   Pembekalan pada pasangan yang ingin menikah tentang hubungan seks yang sehat dan tepat.
2.   Usia setelah menikah
3.  Memelihara pernikahan melalui hubungan seks yang berkualitas.
   Bagaimana mengakomodasi kebutuhan anak/remaja berkebutuhan khusus terhadap pendidikan seks? Problem yang biasa muncul:
4.   Contextual Error
      Banyak ABK yang bingung terhadap konteks, bagaimana bersikap bila kebutuhan seks itu datang. Untuk ABK laki-laki biasanya akan memegangi alat kelaminnya tapi tidak pada tempatnya. Untuk ABK perempuan  ditandai dengan menstruasi dimana mereka mulai mencari kehangatan dan perhatian dari lawan jenisnya.
5.   Safety issues – stranger friend error.
    Berkaitan dengan keamanan diri sendiri, contoh: anak harus dapat membedakan dengan siapa ia boleh dekat, dengan siapa ia boleh mencium dan dicium, dengan siapa ia boleh berpegangan tangan, dengan siapa ia boleh berpelukan.

Adaptasi materi pendidikan seks perlu memperhatikan:

6.    Perkembangan selanjutnya.
7.    Pembelajaran dan ekspresi seksual.

1.    Hambatan Kecerdasan
Pada ABK yang mengalami hambatan kecerdasan, harus dipahami dulu karakteristik mereka untuk dapat memberikan materi pendidikan seks yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Secara umum, anak yang mengalami hambatan kecerdasan memiliki pemahaman yang terbatas, kurang dapat beradaptasi dengan situasi, membutuhkan modifikasi cara penyampaian (informasi dipecah, bahasa simple, dan konkret). Untuk panyampaian materi pendidikan seks bagi remaja yang memiliki hambatan kecerdasan fokus pada pemahaman konteks (public/private area) dan safety (bagaimana menghadapi orang asing dan penanaman sikap mana yang boleh dilakukan dan yang tidak). Sedangkan bagi mereka yang masih berusia anak dan usia menjelang remaja menggunakan materi pendidikan seks seperti yang telah diungkapkan di atas, sesuaikan dengan kebutuhan mereka.

2.    Learning Disability (LD)
Anak dengan LD memiliki kecerdasan rata-rata dan memerlukan proses untuk mengolah informasi. Dalam memberikan materi tidak memerlukan banyak modifikasi dan cara penyampaiannya dapat disesuaikan dengan usia. Cara pemberian materi dapat dilakukan dengan lebih bervariasi.

3.    Autis
Anak Autis memiliki interaksi terbatas dan terkesan unik. Dalam pemberian materi disesuaikan dengan kondisi, bertahap, dan konkret.

4.    Tuna Netra
Anak Tuna netra tidak memiliki hambatan kecerdasan tetapi memiliki hambatan dalam penglihatan sehingga terbatas dalam menyerap informasi secara visual dan kesulitan mengenal orang lain. Mereka juga mengalami kesulitan pemahaman ruang publik dan ruang privat, misalnya dimana mereka harus berganti baju, apakah ada orang lain di tempat itu, dsb. Dalam memberikan materi sebaiknya dilakukan modifikasi.

5.    Tuna Rungu
Anak Tuna rungu tidak memiliki masalah kecerdasan tetapi memiliki hambatan pendengaran sehingga mengalami kesulitan untuk mendefinisikan sesuatu benda. Dalam pemberian materi sebaiknya mensosialisasikan istilah-istilah terkait dengan  seks dan dimana istilah tersebut pantas diucapkan.

6.    Tuna Daksa
Anak Tuna Daksa tidak memiliki hambatan kecerdasan dan mampu menyerap informasi tetapi mereka mengalami hambatan gerak. Mereka sering menjadi obyek pelecehan seksual. Perlu dikomunikasikan siapa saja orang yang boleh membantu dan dapat dipercaya pada saat mereka mengekspresikan seksualnya maupun  saat merawat diri agar mereka tidak menjadi obyek pelecehan.
(Seminar Mimi Institute)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar